Jumat, 10 Desember 2010

Istri Shalehah

A
pa yang didambakan oleh seorang muslimah tak jauh berbeda dengan yang didambakan oleh seorang muslim, menjadikan pernikahan sebagai ladang mendekatkan diri kepada Allah, maka masing-masing harus saling menguatkan demi tercapainya pernikahan yang barakah serta diridhoi oleh Allah.

Kenapa pada umumnya laki-laki mendambakan wanita shalehah dan wanita mendambakan lelaki yang sholeh? Wallâhu wa Rasûluhu a’lam. Saya pikir pernikahan itu bukan akhir dari segala-galanya, tapi ia merupakan sarana untuk membuka pintu-pintu keberkahan hidup di dunia dan di akhirat, dalam hal ini, menikah dengan orang yang paham agama (pemahaman agamanya bagus dan akhlaknya menawan) tentunya akan lebih mudah mengarahkan kepada hal-hal yang diridhoi Allah. Kita harus pahami bahwa kehidupan ini penuh onak dan duri, kita akan diuji oleh Allah untuk mengetahui kadar keimanan hamba-Nya, kehadiran seorang istri shalehah atau suami shaleh yang selalu setia disamping kita akan lebih menambah semangat hidup, lebih optimis. Suami-istri yang paham hak dan kewajibannya akan selalu berorientasi akhirat, mereka akan berusaha untuk menguatkan keluarga, mereka selalu ingin bersama, bukan kebersamaan yang semu, tapi kebersamaan yang abadi, di dunia dan di syurga kelak. (Ya Allah jadikan kami salah satu di antara mereka!)

Namun demikian, kita juga tak bisa menafikan bahwa pernikahan bisa dijadikan ladang amal shaleh yang tidak bisa dilakukan oleh mereka yang belum menikah. Seperti yang ditulis Ust. Muhammad Fauzil Adhim dalam buku “Kado pernikahan untuk istriku” hal 122-123: “Tugas suami memang memberikan pendidikan dan pengarahan kepada istri. Tetapi ketika istri mempunyai pengetahuan agama yang lebih banyak, dia dapat mengajarkan kepada suaminya apa-apa yang belum diketahui suaminya, dengan niat berbakti kepada suami dalam rangka mencari ridho Allah. Begitu juga sebaliknya, seorang suami yang memiliki ilmu agama yang lebih tinggi dari istri, dapat menjadi pegangan bagi istri untuk bertanya hal-hal yang tidak diketahuinya. Suami yang demikian ini perlu memiliki sifat yang penuh kasih sayang, membimbing dan ridho ketika mendidik dan mengarahkan istrinya. Mudah-mudahan istri dapat belajar dari suaminya bagaimana memberikan pengajaran dan pendidikan kepada anak-anak yang lahir dari rahimnya, kelak ketika Allah telah menjadikan dia merelakan rasa sakitnya untuk melahirkan.”

Kenapa agama menjadi standar dalam memilih pasangan hidup?

Saya ingin mengutip dua hadis Rasulullah: Pertama, dari Anas bin Malik menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa menikahi wanita karena kehormatannya (jabatannya), maka Allah hanya akan menambahkan kehinaan. Barangsiapa yang menikahi wanita karena hartanya, maka Allah tidak akan menambah kecuali kefakirannya. Barangsiapa yang menikahi wanita karena nasabnya (kemuliaannya), maka Allah hanya akan menambahkan kerendahan. Dan barangsiapa yang menikahi wanita karena ingin menutupi (kehormatan) matanya, membentengi farjinya, dan mempererat tali silaturrahmi, maka Allah akan menambahkan barakah-Nya kepada (suami) dan istrinya (dalam kehidupan keluarganya).” (HR. Thabrani). Kedua, Rasulullah Saw bersabda: “Jangan kalian menikahi wanita karena kecantikannya semata, boleh jadi kecantikannya itu akan membawa kehancuran. Dan janganlah kalian menikahi wanita karena kekayaan semata, boleh jadi kekayaannya itu akan menyebabkan kesombongan. Tetapi nikahilah wanita itu karena agamanya. Sesunggunya budak wanita yang hitam lagi cacat, tetapi taat beragama adalah lebih baik (daripada wanita kaya dan cantik tapi tidak beragama).” (HR Abu Daud dan Tirmidzi)

Pernah ada orang bertanya kepada Hasan ra. mengenai calon suami putrinya. Kemudian Hasan menjawab, “Kamu harus memilih calon suami (putrimu) yang taat beragama. Sebab, jika dia mencintai putrimu maka dia akan memuliakannya. Dan jika dia kurang menyukai, dia tidak akan menghinakannya.”

Lalu bagaimana kriteria wanita shalehah itu?

Pertama, dalam surat at Tahrim ayat 5, Allah memberikan delapan klasifikasi: muslimât (yang patuh), mu’minât (yang beriman), qânitât (yang taat), tâibât (yang bertaubat), ‘âbidât (yang banyak mengerjakan ibadat), sâihât (yang berpuasa), tsayyibât (yang janda) dan abkâr (yang perawan). Masih banyak klasifikasi dalam Al-Quran tapi saya cukupkan dengan ayat ini.

Kedua, hadis Rasulullah Saw. “Tiga kunci kebahagiaan bagi seorang laki-laki, adalah ISTRI SHALEHAH yang jika dipandang membuatmu semakin sayang dan jika kamu pergi membuatmu merasa aman, dia bisa menjaga kehormatan dirinya dan hartamu, KENDARAAN yang BAIK yang bisa mengantar kemana kamu pergi dan RUMAH yang DAMAI yang penuh kasih sayang. Tiga perkara yang membuatnya sengsara adalah istri yang tidak membuatmu bahagia jika dipandang dan tidak bisa menjaga lidahnya juga tidak membuatmu merasa aman jika kamu pergi karena tidak bisa menjaga kehormatan diri dan hartamu; kendaraan rusak yang jika dipakai hanya membuatmu lelah namun jika ditinggalkan tidak bisa mengantarmu pergi; dan rumah yang sempit yang tidak kamu temukan kedamaian di dalamnya.” Di riwayat lain, beliau bersabda: ”Akan lebih sempurna ketakwaan bagi seorang muslim, jika ia mempunyai seorang istri shalehah, jika diperintah suaminya dia patuh, jika dipandang membuat suaminya merasa senang, jika suaminya bersumpah membuatnya merasa adil, jika suaminya pergi ia akan menjaga dirinya dan harta suaminnya.”

Ketiga, menurut saya, wanita shalehah adalah wanita yang tahu hak dan kewajibannya sebagai istri, wanita yang membuat suami merasa aman ketika ditinggalkan karena bisa menjaga diri dan kehormatannya, wanita yang siap berkorban jiwa dan raga demi kebahagian bersama dunia dan akhirat, wanita yang setia mendampingi perjuangan suami dalam suka dan duka, tawa dan air mata, wanita yang mau menjadi ibu bagi mujahid dan mujahidah-Nya (jundullah), dan wanita yang mau dikoreksi, belajar dan diislah kalau khilaf.

Bisakah orang yang pernah mengecewakan kita menjadi wanita shalehah? Bisa saja, asal ada langkah kongkret, bukan sekedar angan-angan. Diantara sekian banyak perempuan di nusantara ini, saya tertarik dengan perempuan Jawa. Kalau ditanya kenapa? Saya sendiri nggak tau, yang jelas saya pernah membaca tulisan Sakti Wibowo tentang Khadijah dari Jawa. Kang Abik juga pernah menulis novel yang berjudul Pudarnya Kecantikan Cleopatra. Intinya, disitu Kang Abik mengatakan bahwa perempuan Jawa itu tanggung jawab, mandiri dan setia kepada suami, benar nggak?

Terakhir, saya ingin mengutip doa Nabi Dawud as. “ Ya Allah... Hindarkanlah saya dari anak-anak yang durhaka terhadap orangtuanya; harta yang jadi bencana bagi saya maupun orang lain; tetangga yang buruk sifatnya yaitu jika melihat kebaikan pada saya difitnahnya dan jika melihat keburukan disebarluaskannya, dan istri yang menyusahkan, membuat saya beruban sebelum waktunya.”

Sumber : http://fathinismara.multiply.com/journal/item/6/Siapakah_Wanita_Shalehah_Itu.html

0 komentar:

Kontes SEO